Bolehkah Wanita Haidh Masuk ke Masjid ? Ada perbedaaan pendapat/ khilafiah di kalangan ulama. ada yang membolehkan, ada
yang membolehkan dengan syarat, dan ada pula yg tidak membolehkannya. Sekarang,
mari kita kupas bersama2 melalui dalil2 yg ada dan mari kita kaji dgn seksama
perbedaan pendapat tersebut..
Ada 3 pendapat yang berkenaan dengan hal
wanita haid masuk masjid tersebut. Pendapat-pendapat tersebut adalah sebagai
berikut :
1. Pendapat yg melarang wanita haid masuk
masjid, hal ini kebanyakan diikuti oleh sebagian ulama bermadzhab Maliki dan
Hanafi. Mereka mutlak melarang dalam apapun.
2. Pendapat yang membolehkan dengan syarat.
Pendapat ini banyak diikuti dari kalangan ulama bermadzhab Syafi’i dan ulama
dari madzhab Hambali. Pendapatanya adalah melarang jika wanita tersebut
menetap/berdiam di masjid, kecuali sekedar lewat atau berjalan atau mengambil
sesuatu yang ada di dalm masjid saja. Artinya, membolehkan dengan syarat.
3. Pendapat yang membolehkan secara mutlak
tanpa syarat apapun bagi wanita haid berada di masjid selama diyakini darahnya
tidak akan mengotori masjid.
Sekarang, mari kita kupas dalil2 yang ada
sehubungan dengan pendapat2 tersebut, agar kita bisa memilah dan memilih
pendapat mana yang lebih mendekati kebenaran.
I. Pendapat ulama yang melarang secara mutlak
:
“Aku tidak menghalalkan masjid bagi orang
junub dan tidak pula bagi wanita haid.” (HR. Abu Daud 1/232, Baihaqi 2/442.
Didlaifkan dalam Al Irwa’ 1/124)
Hadits
tersebut ternyata hadits dhaif karena ada rawi bernama Jasrah bintu Dajaajah.
Oleh karena itu hadits ini didhaifkan oleh sekelompok ulama di antara Al-Imam
Al-Baihaqi Ibnu Hazm dan Abdul Haq Al-Asybili. Bahkan Ibnu Hazm berkata:
“Hadits ini batil.” dan juga telah di dhaifkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dlm
Irwa‘ul Ghalil no. 124 Dha’if Al-Jami‘ush Shaghir no. 6117 dan Dha’if Sunan Abi
Dawud.
“Hendaklah wanita-wanita haid menjauh dari
mushalla.” (HR. Bukhari nomor 324)
Dalil
tersebut digunakan untuk shalat ‘ied di lapangan, dan bukan untuk di masjid.
Rasulullah SAW menyebut kata “mushalla” biasanya adalah untuk tempat2 shalat
sunnah, seperti di lapangan untuk shalat ‘ied atau tempat shalat di rumah2
kita.. Dan beliau SAW menyebut masjid untuk tempat2 shalat wajib. Jadi, dalil
ini pun kurang tepat jika dijadikan dalil untuk melarang wanita ke masjid.
II. Pendapat Ulama yang membolehkan dengan
syarat :
1.
Firman Allah Ta’ala :
“Wahai orang-orang yang beriman janganlah kalian mendekati shalat
sedangkan kalian dalam keadaan mabuk hingga kalian mengetahui apa yang kalian
ucapkan dan jangan pula orang yang junub kecuali sekedar lewat sampai kalian
mandi.” (An Nisa’ : 43)
Kata “shalat” di artikan tempat shalat..
Tetapi dalam ayat trersebut tidak menyebutkan wanita haid. Wanita haid dalam
ayat tersebut diqiyaskan dengan kata junub. Sehingga ulama dari kalangan ini
membolehkan dengan syarat hanya sekedar lewat atau mengambil sesuatu di dalam
masjid dengan dikuatkan oleh dalil
Hadits ‘Aisyah, bahwa Rasulullah Shallallaahu
‘alaihi wa sallam telah berkata kepadanya: “Siapkanlah al-Humrah (semacam
sajadah) dari masjid. Lalu ‘Aisyah berkata: Saya sedang haid. Beliau bersabda:
Sesungguhnya haid kamu tidak di tanganmu” (HR. Muslim dan at-Turmudzi, no. 134,
dan Abu Dawud, no. 261, dan an-Nasa’i, no. 272, dan Ibnu Majah, no. 632).
Ada
tambahan dari ulama kalangan madzhab Hambali, bahwa boleh menetap di masjid
selama orang yang berhadats besar tersebut dalam keadaan wudhu. Sesuai dengan
dalil yang ada dari Atha bin Yasar berkata : “Aku melihat beberapa orang dari
shahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam duduk di masjid dalam keadaan
mereka junub apabila mereka telah berwudlu seperti wudlu shalat.” (Dikeluarkan
oleh Said bin Manshur dalam Sunan-nya dan isnadnya hasan).
Akan tetapi untuk wanita yang sedang haid maka
tidak diperbolehkan berdiam diri di masjid, karena berwudhunya dalam kondisi
demikian tidak sah (Lihat, al-Mughniy, Ibnu Qatamah, 1/135-137). Dan yang
demikian adalah pendapat Ishaq bin Rahawaih juga.
III. Pendapat ulama yang membolehkan secara
mutlak :
Beberapa ulama yang membolehkan secara mutlak
adalah Ibnu Hazm, Ibnu Mundzir, Al Muzanny dsb. Mereka berpendapat, bahwa tidak
ada satupun dalil sahahih yang melarang wanita haid berada di dalam masjid.
Sedangkan dalil yang membolehkan wanita haid berada di dalam masjid justru ada
dan tergolong hadits shahih. Adapaun dalil2 yang digunakan adalah sebagai
berikut :
Bermukimnya wanita hitam yang biasa
membersihkan masjid, di dalam masjid, pada masa Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa
Sallam. Tidak ada keterangan bahwasannya Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam
memerintahkan dia untuk meninggalkan masjid ketika masa haidnya, dan haditsnya
terdapat dalam Shahih Bukhari.
2. Sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam
kepada ‘Aisyah radhiallahu ‘anha yang tertimpa haid sewaktu melaksanakan ibadah
haji bersama beliau Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam :
“Lakukanlah apa yang diperbuat oleh seorang
yang berhaji kecuali jangan engkau Thawaf di Ka’bah.” (HR. Bukhari nomor 1650)
Dalam hadits di atas Nabi Shallallahu ‘Alaihi
Wa Sallam tidak melarang ‘Aisyah untuk masuk ke masjid dan sebagaimana jamaah
haji boleh masuk ke masjid maka demikian pula wanita haid (boleh masuk masjid).
3.
Sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam :
“Sesungguhnya orang Muslim itu tidak najis.”
(HR. Bukhari nomor 283 dan Muslim nomor 116 Kitab Al Haid)
Hadits
‘Aisyah, bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah berkata
kepadanya:
“Siapkanlah al-Humrah (semacam sajadah) dari masjid. Lalu ‘Aisyah
berkata: Saya sedang haid. Beliau bersabda: Sesungguhnya haid kamu tidak di
tanganmu” (HR. Muslim dan at-Turmudzi, no. 134, dan Abu Dawud, no. 261, dan
an-Nasa’i, no. 272, dan Ibnu Majah, no. 632).
Hadits
tersebut di atas tidak menerangkan bahwa Rasulullah SAW memerintahkan Aisyah
harus segera keluar dari masjid atau boleh masuk masjid tapi sekedar mengambil
al-Humrah saja. Beliau SAW hanya menerangkan haid tidak di tanganmu, sehingga
selama aman dan tidak akan mengotori masjid, maka diperbolehkan wanita untuk
berada di dalam masjid tanpa batas waktu dan syarat2 tertentu.
Ayat QS 4;43 ttg “(jangan pula hampiri tempat
shalat) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja,..”
berasal dari kata “.. walaa (dan jangan/tidak) junuban (orang yg junub) illaa
(kecuali) ‘aabiriy sabiyl (sekedar lewat/musafir)..”.
Ada perbedaan penafsiran dlm hal ini, krn kata
jangan menghampiri tempat shalat tidak ada dlm teks asli Al Quran. Perbedaan
pendapat tersebut berada pada kata “..’aabiriy sabiyl..”. Ada yang menafsirkan
sekedar lewat, ada pula yg menafsirkan musafir.
Maka dlm kitab ibnu Hazm (al-Muhallaa,
2/174-175) bahwa seharusnya penafsiran dari kata walaa (dan jangan/tidak)
junuban (orang yg junub) illaa (kecuali) ‘aabiriy sabiyl (sekedar
lewat/musafir)..” yang dimaksud adalah “ wa laa (dan jangan/tidak “shalat”)
junuban (orang yg junub)..” bukan “mendekati tempat shalat”.
Selain itu, jika benar diterjemahkan tempat
shalat, maka, lapangan bisa jadi tempat shalat (sesuai hadits tentang shalat
‘ied), atau rumah2 kita juga bisa jadi tempat shalat. Bumi ini adalah tempat
shalat, sesuai hadits Rasulullah SAW
“Dijadikan bumi ini bagiku tempat yang baik, alat bersuci dan masjid
(tempat sujud), maka bagi siapapun yang telah datang waktu shalat agar shalat
di mana saja.” (HR. Muslim, 5/32 dan Abu Dawud, no. 489)
Dan dalam hadits yang lain beliau bersabda:
“Dijadikan bagi kami bumi ini keseluruhannya adalah masjid, dan dijadikan
debunya bagi kami alat bersuci apabila tidak ada air.” (HR. Muslim, 5/4)
Berkata al-Imam an-Nawawiy : Berkata shahabat
Abu Hanifah bahwa yang dimaksud ayat tersebut adalah seseorang yang bepergian
(musafir) jika dalam keadaan junub dan tidakmendapati air diperbolehkan baginya
bertayamum dan mendirikan shalat meskipun sifat junub masih ada karena yang
dimaksudkan adalah hakekat shalatnya. Dan ulama Hanafiyah yang berpendapat
demikian adalah al-Murghinaniy dan Ibnu Hamam dan selain keduanya. Adapun
tafsir yang kedua, yang mengatakan bahwa maksud ‘aabiriy sabiyl” ialah sekedar
berlalu di dalam masjid tidak bersumber dari seorangpun dari Shahabat, dan
diriwayatkan dengan sanad yang lemah dari Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin
Abbas.
Sehingga menurut pendapat kelompok ini, tidak
ada satupun dalil yang shahih dan pasti yang melarang wanita haid berada di
dalam masjid dengan alasan dan keadaan apapun.
Demikian telah diterangkan panjang lebar
mengenai wanita haid beserta dalil2 yang ada. Silahkan ambil salah satunya yang
anda anggap paling kuat landasan hokum dan dalil2nya. Kebenaran mutlak adalah
milik Allah, akan tetapi Allah telah memberikan kita alat agar kita bisa
memilah dan memilih sebuah kebenaran.
Sumber : almubayyin.wordpress.com
Komentar
Posting Komentar