Adil dalam Memberi Hadiah pada Anak

Haruskah adil dalam pemberian hadiah pada anak? Ataukah tetap mempertimbangkan kebutuhan?

‘Amir berkata bahwa beliau mendengar An Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhuma yang ketika itu berada di atas mimbar berkata, “Ayahku memberikan hadiah padaku.” Lantas ibunya Nu’man,  ‘Amroh bintu Rowahah berkata, “Aku tidak ridho sampai engkau mempersaksikan hal itu pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam datang, lantas Basyir (ayah Nu’man) berkata, “Aku telah memberikan hadiah pada anak laki-lakiku dari istriku, ‘Amroh bin Rowahah. Lalu istriku memerintah padaku untuk mempersaksikan masalah hadiah ini padamu, wahai Rasulullah.” Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bertanya pada Basyir, “Apakah engkau memberi anak-anakmu yang lain seperti anakmu itu?” “Tidak”, begitu jawaban Basyir. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

فَاتَّقُوا اللَّهَ ، وَاعْدِلُوا بَيْنَ أَوْلاَدِكُمْ
“Bertakwalah pada Allah. Bersikap adillah terhadap anak-anakmu.” An Nu’man berkata bahwa ayahnya kembali dan menarik hadiah tersebut (Muttafaqun ‘alaih). Hadits ini dibawakan Imam Bukhari dalam persaksian dalam hal hadiah. Imam Nawawi memberi judul Bab dalam Shahih Muslim “Tidak disukai mengutamakan hadiah pada satu anak tidak pada yang lainnya.”
Ada beberapa pelajaran dari hadits di atas:

Pertama:

Bersikap adil yaitu sama dalam pemberian hadiah di antara anak-anak adalah suatu hal yang wajib. Sedangkan bersikap tidak adil dalam hal ini tanpa adanya alasan adalah suatu yang haram atau tidak dibolehkan.

    Namun, jika ternyata ditemukan adanya sebab untuk mengutamakan satu anak dan lainnya dalam pemberian hadiah, maka harus dengan ridho seluruh anak. Semisal hal ini adalah jika melebihkan satu istri dari lainnya, itu pun suatu keharaman.

Kedua:

Apakah dalam masalah hadiah bagi anak berlaku sama seperti warisan yaitu anak laki-laki mendapatkan dua kali anak perempuan?

Ada khilaf (beda pendapat) dalam masalah ini. Ibnu Hajar berkata, “Muhammad bin Al Hasan, Imam Ahmad, Ishaq, sebagian ulama Syafi’iyah dan ulama Malikiyah berkata bahwa adil dalam hal ini adalah seperti dalam hal warisan yaitu laki-laki mendapatkan dua kali perempuan.” (Fathul Bari, 5/214)

Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz rahimahullah juga menguatkan pendapat di atas, yaitu laki-laki mendapatkan dua kali dari bagian wanita. Karena demikianlah hukum Allah yang Maha Adil. Maka berlaku pula hal ini dalam masalah hadiah untuk anak-anak. Sebagaimana jika anak-anak tersebut ditinggal mati, maka anak laki-laki mendapatkan dua kali dari bagian anak perempuan, inilah keadilan sebagaimana pada ayah dan ibu mereka. Inilah yang wajib bagi ayah dan ibu, hendaklah memberikan hadiah kepada anak mereka secara adil dan sama, bentuknya adalah laki-laki mendapatkan dua kali dari wanita. (Majmu’ Fatawa wa Maqolat Mutanawwi’ah juz ke-25, http://www.binbaz.org.sa/mat/3410)

Salah seorang ulama Sudan, Syaikh Al Amin Haajj Muhammad memberikan alasan, “Kebutuhan laki-laki terhadap harta itu lebih besar dari kebutuhan wanita. Jika wanita menikah, maka yang menanggung dirinya adalah suaminya. Jika ia tidak menikah, ditalak atau suaminya meninggal dunia, maka nafkah wanita tersebut ditanggung ayah dan saudaranya.” (http://www.islamadvice.com/usra/usra27.htm)

Ketiga:

Hadiah mesti dikembalikan jika ada pembagian di antara anak-anak yang tidak sama atau tidak adil. Alasannya sebagaimana dalam hadits An Nu’man bin Basyir di atas. Sedangkan dalil yang nyatakan tidak boleh mengambil sesuatu yang sudah disedekahkan,

لاَ تَشْتَرِ وَلاَ تَعُدْ فِى صَدَقَتِكَ ، وَإِنْ أَعْطَاكَهُ بِدِرْهَمٍ ، فَإِنَّ الْعَائِدَ فِى صَدَقَتِهِ كَالْعَائِدِ فِى قَيْئِهِ

“Janganlah engkau membeli dan meminta kembali sedekahmu, walaupun engkau ingin menggantinya dengan satu dirham. Karena orang yang meminta kembali sedekahnya seperti orang yang menjilat kembali muntahannya.” (HR. Bukhari no. 1490 dan Muslim no. 1620), ini adalah dalil umum. Sedangkan hadits Nu’man di atas yang berisi perintah mengembalikan hadiah, itu adalah dalil khusus yang menjadi pengkhusus yang umum.

Keempat:
 Boleh memberikan suatu pemberian pada anak laki-laki atau perempuan lebih dari yang lainnya jika ada alasan khusus seperti karena anak tersebut lebih butuh. Hal ini pernah dicontohkan Abu Bakr dan Umar terhadap anak-anak mereka. Boleh pula melebihkan salah satu anak karena alasan mendidik sebagaimana pendapat Anas bin Malik.

Bahasan di atas adalah faedah dari bahasan ulama Sudan, Syaikh Al Amin Haajj Muhammad, selaku Ketua Asosiasi Syar’iyyah dan Du’at di Sudan. Lihat link: http://www.islamadvice.com/usra/usra27.htm

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Muslim.Or.Id

Komentar