Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,
Diantara tujuan utama disyariatkannya nikah adalah mendapatkan anak. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
تزوجوا الودود الولود فإني مكاثر بكم الأمم
“Menikahlah dengan wanita yang romantis dan subur, karena aku membanggakan banyaknya pengikut di hadapan banyak umat.” (HR. Abu Daud & Nasai).
Mendapatkan anak merupakan hak yang terlindungi bagi suami maupun istri. Karena itu, terlarang bagi suami untuk melakukan ‘azl (membuang air maninya) ketika berhubungan dengan istri yang merdeka, kecuali dengan izin istrinya.
Yang benar, sifat mandul, baik pada suami maupun pada istri,
terhitung sebagai aib dan kekuarangan yang menghilangkan salah satu
tujuan nikah. Karena cacat yang menyebabkan bolehnya memutuskan ikatan
pernikahan, tidak dibatasi dengan bilangan tertentu, menurut keterangan
yang lebih kuat. Namun, semua sifat
yang menyebabkan salah satu pasangan
menghindar dari pasangannya atau menghalangi salah satu pasangan untuk
bisa menikmati hubungan badan, atau menghilangkan salah satu tujuan
nikah, terhitung sebagai aib yang membolehkan masing-masing untuk
menentukan pilihan, antara cerai dan melanjutkan rumah tangga.
Diriwayatkan oleh Abdur Razaq dalam Mushannaf,
أن عمر بن الخطاب رضي الله عنه بعث رجلا على بعض السعاية
فتزوج امرأة وكان عقيما فقال له عمر: أَخْبَرْتَهَا أَنَّكَ عَقِيمٌ لَا
يُولَدُ لَك، قال: لا قال: فَأَخْبِرْهَا، وَخَيِّرْهَا
Bahwa Umar bin Khatab radhiyallahu ‘anhu, pernah mengutus
seseorang sebagai petugas zakat di daerah tertentu. Ternyata dia menikah
dengan wanita di daerah itu, padahal dia mandul. Umar-pun bertanya
kepadanya, “Apakah kamu sudah memberi tahu istrimu bahwa kamu mandul,
tidak bisa punya anak?” “Belum” Jawab orang ini. Umar menasehatkan,
“Sampaikan kepadanya bahwa kamu mandul, kemudian berikan hak pilih
untuknya.” (Mushannaf Abdur Razaq, no. 10347)
Ini merupakan pendapat yang dipilih Ibnul Qoyim dan sebagian ulama
madzhab hambali lainnya, dimana salah satu pasangan suami istri berhak
minta fasakh (gugat cerai ke pengadilan) karena mandul. jika
telah dipastikan suami atau istri orang yang mandul maka secara syariat,
pasangannya dibolehkan untuk mengajukan fasakh, dan wajib bagi
hakim untuk mengabulkan keinginannya, dalam rangka menghindari hal
buruk yang terjadi. Jika tidak mungkin dilakukan fasakh maka istri boleh melakukan khulu’ (gugat cerai ke suami), agar bisa berpisah denagn suaminya.
Kemudian, syarat bolehnya mengajukan fasakh, suami atau
istri belum mengetahui cacat pasangannya ketika akad nikah. Suami atau
istri ini menikah dan dia tidak tahu pasangannya mandul. Namun jika dia
telah mengetahui hal itu, gugur haknya untuk mengajukan fasakh, karena
ketika dia menjalani pernikahan, dia sudah memahami keadaan pasangannya,
dan dia telah menggugurkan haknya sejak awal. Demikian yang dijelaskan
para ulama.
Oleh karena itu, tidak salah ketika seorang wanita mengajukan fasakh
karena suami mandul, dengan harapan bisa menikah lagi dengan lelaki
lain yang memungkinkan bisa mendatangkan keturunan melalui izin Allah.
Hanya saja, dia juga perlu mempertimbangkan keadaan yang paling baik
untuk kehidupannya dan kebahagiaannya. Menimbang dampak baik dan
buruknya, dan memilih yang lebih mendatangkan manfaat, antara
melanjutkan roda keluarga atau berpisah dengan suami.
Lebih dari itu, seorang wanita yang rela mendampingi suami yang
mandul dan bersabar, dia akan kelihatan awet mudah, sehingga membuat
suami makin cinta dan semangat untuk memiliki anak. Tidak perlu
mempedulikan celoteh orang lain, termasuk kerabat. Berharaplah untuk
mendapatkan pahala dari Allah, insyaallah ini lebih baik,
diharapkan bisa menjadi jalan untuk mendapatkan kedudukan yang tinggi di
surga. Ini sebagaimana yang dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama Saudah. Beliau mempertahankan dan tidak menceraikannya, padahal secara tabiat, beliau sudah tidak mencintai Saudah.
Demikian pula sebaliknya, ketika seorang istri mandul dan sang suami
tetap berusaha mempertahankannya, bersikap baik, bersabar, dan tidak
kasar kepadanya, insyaallah termasuk amal shalih. Sikap toleran
dari salah satu pasangan ini, menunjukkan sifat kedewasaan, wibawa, dan
kesempuraan kepribadian dalam menggapai ridha Allah.
***
Khalid bin Su’ud Al-Bulaihid
Murid Syaikh Ibnu Utsaimin
Anggota The Scholarly Saudi Society for the prophetic sunnah
Murid Syaikh Ibnu Utsaimin
Anggota The Scholarly Saudi Society for the prophetic sunnah
Hal penting yang bisa dicatat dari keterangan di atas:
1. Diantara hak suami-istri dalam pernikahan adalah memiliki anak,
karena itu, suami tidak boleh secara sengaja melakukan kontrasepsi tanpa
izin istrinya, demikian pula sebaliknya.
2. Diantara kriteria yang dinilai cacat yang membolehkan fasakh:
a. Cacat yang menyebabkan pasangan menghindarinya.
b. Cacat yang menghalangi pasangan menikmati hubungan badan.
c. Cacat yang menghilangkan salah satu tujuan nikah.
3. Suami istri yang mendapatkan adanya cacat pada pasangannya, dibolehkan mengajukan fasakh, jika cacat itu belum diketahui ketika akad nikah. Namun jika sudah tahu, tidak ada hak fasakh dalam hal ini, sebagaimana dinyatakan dalam riwayat dari Umar bin Khatab.
4. Berusaha bersabar terhadap pasangan yang memiliki kekurangan, termasuk diantara bentuk amal shalih.
***
Musimah.Or.Id
Disarikan oleh Ustadz Ammi Nur Baits
Disarikan oleh Ustadz Ammi Nur Baits
Komentar
Posting Komentar