Haruskah Orang Tua Meminta Izin kepada Anak?

Pembaca mulia, di masa ini tentu sudah tidak asing bagi kita cerita mengenai sikap pembangkangan anak terhadap orang tua. Di antara sikap pembangkangan anak adalah anak tidak pernah meminta izin kepada orang tua ketika akan mengambil barang milik orang tua, atau anak melakukan suatu kegiatan tanpa izin orang tua. Jika Anda adalah orang tua, tentu hati Anda akan terasa sakit apabila anak yang diharapkan akan tulus mencurahkan bakti dan kasih sayangnya pada Anda, tetapi ia malah membangkang, tidak menuruti perintah Anda, bahkan sering berdusta kepada Anda. 

Namun, terkadang sebagian orang tua –mudah-mudahan kita terlindung darinya- tidak menyadari bahwa di antara sebab pembangkangan anaknya itu adalah perilaku orang tua sendiri yang memberikan contoh yang buruk bagi anak .


Maka, untuk para orang tua…
Janganlah Engkau berharap anakmu menjadi pemuda yang menghormati dirimu…
Sementara kau pun tidak menghargai anakmu…
Tidakkah kau tahu bahwa

وينشَأُ ناشئُ الفتيانِ منا … على ما كان عوَّدَه أبوه

Para pemuda di antara kami tumbuh…
dengan kebiasaan yang dibiasakan ayah mereka

Perhatikanlah di antara contoh pendidikan Nabi dalam hadits Sahl bin Sa’ad As-Sa’idi radhiyallahu ‘anhu di bawah ini.
أن رسول الله صلى الله عليه وسلم أتي بشراب فشرب منه وعن يمينه غلام وعن يساره الأشياخ فقال للغلام ( أتأذن لي أن أعطي هؤلاء ) . فقال الغلام والله يا رسول الله لا أوثر بنصيبي منك أحدا . قال فتله رسول الله صلى الله عليه وسلم في يده

Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diberi minuman, lalu beliau pun meminumnya. Di sebelah kanan beliau ada anak kecil, sedangkan di sebelah kiri beliau terdapat para syaikh (orang-orang tua). Beliau berkata kepada anak kecil tersebut, “Apakah Engkau mengizinkanku untuk memberikan ini kepada mereka?” Anak itu berkata, “Tidak, demi Allah, aku tidak akan pernah mengorbankan bagiankudarimu kepada seorang pun!” (Sahl bin Sa’ad) berkata, “Lalu, Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam meletakkan air itu di tangan anak tersebut”.
(H.R Bukhari)
Dalam hadits yang mulia ini, terdapat contoh teladan dari Nabi bahwa hendaknya orang yang tua umurnya pun meminta izin kepada seorang anak kecil ketika akan mengambil sesuatu milik anak tersebut. Ini tidak hanya akan menimbulkan kesan di hati anak, tetapi sekaligus menanamkan adab islami pada dirinya. Oleh karena itu, Syaikh Musthafa bin Al-Adawi (الشيخ مصطفى بن العدوي) hafizhahullah berkata,

ففي هذا إشعار للغلام بالاهتمام به من ناحية, و تعليمه لآدب الإسلمية من ناحية أخرى

Sikap tersebut memberikan isyarat (dalam cara pendidikan orang tua) akan adanya “perhatian” orang tua kepada anak dari satu sisi, dan “pengajaran adab islami” di sisi yang lain

Berilah Anak Penjelasan, Jika Kau Memang Harus Mengambil Sesuatu Darinya

Jika sebelumnya dijelaskan bahwa orangtua hendaknya meminta izin kepada anak, ini bukan berarti orang tua tidak boleh mengambil sesuatu milik anak jika memang ada hal syar’i yang mendorongnya untuk itu. Namun, orangtua hendaknya bisa memberikan penjelasan yang bisa diterima anak. Jangan sampai ia hanya menonjolkan umurnya yang tua, kekuasaan dan kegarangannya semata karena bisa jadi hal itu malah membuat anak menuruti perintahnya karena “murni” takut padanya. Inilah di antara sebab pembangkangan anak di kala mereka nanti mulai dewasa. Di saat umur anak semakin dewasa, ia semakin merasa memiliki kekuatan sehingga berani melawan.

Maka, Renungkanlah Sikap Nabi terhadap cucunya ini

Al-Hasan radhiyallahu ‘anhu adalah seorang anak kecil yang sangat dicintai Nabi, apalagi ia adalah cucu beliau. Namun, kecintaan beliau tidak menghalanginya untuk memberikan pendidikan yang tegas kepada Al-Hasan. Perhatikanlah ketegasan beliau dalam hadits berikut ini.
أخذ الحسن بن علي تمرة من تمر الصدقة فجعلها في فيه فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: كخ كخ ارم بها أما علمت أنا لا نأكل الصدقة ؟

Al-Hasan bin Ali radhiyallahu ‘anhuma mengambil sebuah kurma dari kurma sedekah, lalu meletakkannya di mulut. Selanjutnya, Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam berkata,“Eh.. Eh.. Ayo buang! Tidakkah Engkau mengetahui bahwa sesungguhnya kita (keluarga Nabi) tidak memakan harta sedekah?”
(H.R. Muslim)
Perhatikanlah hadits di atas, Nabi tidak hanya melarang Al-Hasan mengambil kurma sedekah, tetapi memberikan alasan mengapa tidak boleh mengambilnya. Beliau menjelaskan bahwa keluarga Nabi memiliki kekhususan yang tidak dimiliki kaum muslimin yang lain, yaitu keluarga Nabi tidak boleh menerima sedekah.

Tidakkah kita ingat pula bahwa dalam kesempatan lain, Nabi juga pernah menahan tangan seorang anak laki-laki dan wanita dari makanan, lalu beliau menjelaskan alasan mengapa harus melakukan demikian?
Diriwayatkan oleh Muslim dalam shahihnya dari Hadits Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu. Beliau berkata,
“Jika kami menghadiri sebuah jamuan makan bersama Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam, kami tidak akan meletakkan tangan kami pada makanan kecuali jika Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam memulainya.

Pada suatu kesempatan, kami menghadiri jamuan makan bersama beliau, kemudian datanglah seorang anak wanita seakan-akan dia didorong sehingga meletakkan tangannya pada makanan. Lalu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil tangannya.

Selanjutnya, datanglah seorang Arab Badui, seakan-akan dia didorong lalu Rasulullah shallallahu ‘alahi wa salllam mengambil tangannya dan bersabda,

Sesungguhnya setan akan memakan makanan yang tidak disebutkan padanya nama Allah, dan sesungguhnnya dia (setan) mendorong anak wanita ini agar dia bisa makan, lalu aku memegang tangannya. Kemudian, dia (setan) mendorong seorang Arab Badui agar dia bisa makan, lalu aku pun mengambil tangannya.” Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sesungguhnya tangannya (tangan setan) ada pada tanganku beserta tangannya.
Maka, Nabi menjelaskan alasan beliau menahan tangan keduanya, yaitu karena setiap orang yang akan makan tetapi tidak menyebut nama Allah, ia akan disertai setan, yaitu setan akan turut memakan makanannya itu.

Berikanlah Penjelasan Pula Di Saat Ingin Melarang

  • Kemudian, di samping harus mampu menjelaskan alasan dalam mengambil atau menahan sesuatu milik anak, hendaknya orang tua juga mampu menjelaskan alasan ketika akan melarang sesuatu pada anak. Misalnya, ketika orang tua melarang anak yang ingin ikut kegiatan di sekolahnya yang terdapat unsur maksiat, seperti pentas musik, acara ulang tahun kawan, drum band, cheerleader, makrab, lomba menggambar makhluk bernyawa, dan berbagai pelanggaran syariat lainnya, orang tua harus bisa menjelaskan alasan dari sisi syari’at, tidak hanya melarang semata. Di sinilah kita bisa merasakan pentingnya ilmu. Ini harus didahulukan karena menanamkan ketundukan anak terhadap aturan syariat merupakan hal yang paling pokok. Jangan sampai anak hanya patuh karena takut kepada orang tua, atau karena ada alsan logis yang sesuai dengan akal, tetapi di hati anak tidak ada rasa takut sama sekali kepada Allah. Dalam kondisi seperti ini, anak pun akan bermaksiat kembali di kala orang tua tidak melihat mereka, atau anak tahu alasan logisnya tetapi ia pun tetap melaksanakannya. Maka, banyak sekali kita temui anak-anak yang mulai coba-coba menggunakan narkotika, mereka sebenarnya tahu “secara logis” itu berbahaya bagi tubuh mereka. Akan tetapi, karena tidak ada rasa takut kepada Allahta’ala, mereka pun hanya takut ketahuan orang tua. Maka, jika orang tua tidak melihatnya, mereka kembali menggunakan narkotika tersebut, tanpa merasa bahwa Allah melihatnya.
  • Kami tidak mengatakan bahwa jangan beri penjelasan logis, tetapi dalil semata. Bukan! Bukan itu yang dimaksud. Bahkan, kami katakan, “Setelah mampu menjelaskan dari sisi syari’at, orang tua hendaknya dapat pula melarang anak dengan memberikan alasan logis, sesuai dengan batas daya tangkap anak.” Contoh yang paling sederhana, orang tua dapat memberikan alasan logis mengapa ia melarang anak menggunakan narkotika, yaitu karena narkotika bisa menimbulkan kecanduan dan merusak kesehatan badan. Namun, kalau hanya “alasan logis”, tanpa disertai alasan syar’i, niscaya bibit-bibit keshalihan anak tidak akan mucul dalam diri anak. Wallahu a’lam
Penutup
Demikianlah “secuplik” adab yang diajarkan Nabi kepada kita. Mudah-mudahan, kita semua diberi taufik untuk meneladani Nabi dalam setiap yang beliau ajarkan.

Penulis: Ginanjar Indrajati B.

Komentar