Intinya, tulisan ini ingin mengetengahkan kekeliruan seputar kuburan.
Di antara kekeliruan yang ada adalah menyengajar mendirikan bangunan di atas kuburan, memberikan pada kuburan, bangunan atap, atau penerangan
(lentera atau lampu).
Ada beberapa dalil larangan mengenai hal ini.
Dari Abul Hayyaj Al Asadi, ia berkata, “‘Ali bin Abi Tholib berkata
kepadaku, “Sungguh aku mengutusmu dengan sesuatu yang Rasulullah
-shallallahu ‘alaihi wa sallam- pernah mengutusku dengan perintah
tersebut. Yaitu:
أَنْ لاَ تَدَعَ تِمْثَالاً إِلاَّ طَمَسْتَهُ وَلاَ قَبْرًا مُشْرِفًا إِلاَّ سَوَّيْتَهُ
“Jangan engkau biarkan patung (gambar) melainkan engkau musnahkan
dan jangan biarkan kuburan tinggi dari tanah melainkan engkau ratakan.” (HR. Muslim no. 969).
Kedua, dari Jabir, ia berkata,
عَنْ
جَابِرٍ قَالَ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنْ يُجَصَّصَ
الْقَبْرُ وَأَنْ يُقْعَدَ عَلَيْهِ وَأَنْ يُبْنَى عَلَيْهِ
Dari Jabir, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari memberi semen pada kuburan, duduk di atas kuburan dan memberi bangunan di atas kuburan.” (HR. Muslim no. 970).
Matan yang cukup terkenal di kalangan Syafi’iyah yaitu matan Abi Syuja’ (matan Taqrib) disebutkan di dalamnya,
ويسطح القبر ولا يبني عليه ولا يجصص
“Kuburan itu mesti diratakan, kuburan tidak boleh dibangun bangunan di atasnya dan tidak boleh kubur tersebut diberi kapur (semen).” (Mukhtashor Abi Syuja’, hal. 83 dan At Tadzhib, hal. 94).
Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Yang sesuai ajaran Rasul
-shallallahu ‘alaihi wa sallam- kuburan itu tidak ditinggikan dari atas
tanah, yang dibolehkan hanyalah meninggikan satu jengkal dan hampir
dilihat rata dengan tanah. Inilah pendapat dalam madzbab Syafi’i dan
yang sepahaman dengannya.” (Syarh Shahih Muslim, 7: 35).
Imam Nawawi di tempat lain mengatakan, “Terlarang memberikan semen
pada kuburan, dilarang mendirikan bangunan di atasnya dan haram duduk di
atas kubur. Inilah pendapat ulama Syafi’i dan mayoritas ulama.” (Syarh Shahih Muslim, 7: 37).
Muhammad bin Muhammad Al Khotib, penyusun kitab Al Iqna’ mengatakan,
“Dilarang mendirikan bangunan di atas kuburan maksudnya adalah mendirikan
qubah seperti rumah. Begitu pula dilarang memberi semen pada kubur
karena ada hadits larangan dalam Shahih Muslim.” (Al Iqna’, 1: 360).
Begitu juga terlarang memberikan lampu pada kubur sebagaimana hadits dalam kitab sunan,
لعَنَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زُوّارَاتِ القبوْرِ، وَالمتَّخِذِينَ عَليْهَا المسَاجِدَ وَالسُّرُج
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat para wanita
yang meziarahi kuburan dan orang-orang yang menjadikan di atas kuburan
masjid-masjid dan lampu-lampu” (HR. Ahmad no. 2030, Abu Daud no. 3236,
Tirmidzi no. 320, An Nasa’i no. 2034, Ibnu Maajah no. 1575, dan Ibnu
Hibban dalam shahihnya no 3179 dan 3180).
Tidak Manfaat Bermewah-Mewah dalam Kubur
Sebenarnya tidak bermanfaat apa yang dilakukan dengan kubur yang
mewah. Ada yang diberi atap, ada yang diberi lentera penerang, ada yang
diberi semen dan marmer yang mewah, yang kesemuanya hanyalah
menghambur-hamburkan harta. Padahal yang di dalam kubur pun tidak butuh
fasilitas “wah” seperti itu. Seharusnya kubur dibuat jadi pengingat mati
sebagaimana sabda Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam.
زُورُوا الْقُبُورَ فَإِنَّهَا تُذَكِّرُكُمُ الآخِرَةَ
“Lakukanlah ziarah kubur karena hal itu lebih mengingatkan kalian pada akhirat (kematian).”
(HR. Muslim no. 976, Ibnu Majah no. 1569, dan Ahmad 1: 145). Jika kubur
dibuat mewah, tentu tidak ada rasa mengingat akhirat saat
mengunjunginya.
Yang Bermanfaat Hanyalah Amalan
Dari pada menghabiskan ratusan juta rupiah untuk satu petak kubur,
mending uang tersebut disalurkan untuk hal yang bermanfaat. Kalau
diniatkan sedekah atas nama mayit, tentu mayit akan mendapatkan manfaat
dari sedekah tersebut. Dalilnya adalah hadits berikut,
أَنَّ
سَعْدَ بْنَ عُبَادَةَ – رضى الله عنه – تُوُفِّيَتْ أُمُّهُ وَهْوَ
غَائِبٌ عَنْهَا ، فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أُمِّى تُوُفِّيَتْ
وَأَنَا غَائِبٌ عَنْهَا ، أَيَنْفَعُهَا شَىْءٌ إِنْ تَصَدَّقْتُ بِهِ
عَنْهَا قَالَ « نَعَمْ » . قَالَ فَإِنِّى أُشْهِدُكَ أَنَّ حَائِطِى
الْمِخْرَافَ صَدَقَةٌ عَلَيْهَا
“Sesungguhnya ibu dari Sa’ad bin Ubadah radhiyallahu ‘anhu
meninggal dunia, sedangkan Sa’ad pada saat itu tidak berada di
sampingnya. Kemudian Sa’ad mengatakan, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya
ibuku telah meninggal, sedangkan aku pada saat itu tidak berada di
sampingnya. Apakah bermanfaat jika aku menyedekahkan sesuatu untuknya?’
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Iya, bermanfaat.’ Kemudian
Sa’ad mengatakan pada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Kalau
begitu aku bersaksi padamu bahwa kebun yang siap berbuah ini aku
sedekahkan untuknya’.” (HR. Bukhari no. 2756)
Ratusan juta tersebut coba disalurkan untuk kepentingan baik seperti
itu, menyantuni anak yatim atau menyalurkan pada santri-santri pesantren
yang tidak mampu. Karena amalan kebaikan itu tentu saja yang bermanfaat
untuk mayit, bukan kemewahan kuburannya. Karena harta dan keluarga akan
ditinggal. Yang akan menemani mayit hanyalah amalannya berupa shalat,
puasa, sedekah, atau kirim pahala dari amalan tertentu pada mayit.
Dari Anas bin Malik, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يَتْبَعُ
الْمَيِّتَ ثَلاَثَةٌ ، فَيَرْجِعُ اثْنَانِ وَيَبْقَى مَعَهُ وَاحِدٌ ،
يَتْبَعُهُ أَهْلُهُ وَمَالُهُ وَعَمَلُهُ ، فَيَرْجِعُ أَهْلُهُ وَمَالُهُ
، وَيَبْقَى عَمَلُهُ
“Yang mengikuti mayit hingga ke kuburan ada tiga. Dua akan
kembali dan satu akan menemaninya. Keluarga, harta dan amalan akan
mengikutinya. Keluarga dan hartanya akan kembali. Sedangkan amalan akan
menemaninya.” (HR. Bukhari no. 6514 dan Muslim no. 2960).
Hanya Allah yang memberi taufik.
—
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Komentar
Posting Komentar