Sungguh tidak mudah menjadi seseorang yang ideal, namun setiap
pasangan menginginkan pasangannya ideal. Tuntutan demi tuntutan berlaku
dan bila sang penuntut tidak puas dengan tuntutannya, maka yang terjadi
adalah rasa tidak puas yang membuat seoarang istri atau suami sudah
tidak ideal menjadi bertambah tidak ideal. Ideal menurut siapa?
Standarnya apa? Tentu saja standar ideal itu berbeda-beda, dan bila
ditanya lagi dengan lebih dalam, standarnya apa, maka jawabnya adalah…
“Yaa seperti istri-istri Rasulullah…” jawaban ini membuat istri terdiam,
dan batinnya bertanya, “tentu saja istri-istri Rasul ideal, bahkan
sangat ideal, lhaa, suaminya saja ideal banget, Rasulullah.”
Istri-istri Rasulullah sangat ideal, bersedia dipoligami, nah yang
satu ini membuat Nita bingung, karena lagi-lagi persoalan yang terjadi
dalam sebuah rumah tangga yang biasanya berjalan lima tahun, isu poligmi
mulai mendominasi pembicaraan suami istri. Dimulai dengan; “kalau..
Kalau aku menikah lagi gimana yang…” tanya sang suami menyelidik.
Menguji kesadaran dan kesabaran sang istri, istri pun menjawab
dengan
gagah, ” yaa, kalau abang mampu bersikap adil mengapa tidak?” Dan
kemudian sang suami mengecup istrinya dengan bangga, namun hati sang
istri menjadi murung, sang istri diam saja, dan bearlih membicarakan
hal-hal lain yang menurutnya lebih penting.
Istri Rasulullah pencemburu, istri Rasulullah cemburu pada suaminya
dengan cemburu yang santun, cemburu yang bermutu, sehingga layak
dijadikan ibrah, cemburu yang tidak membabi buta. Bukan cerita yang
asing lagi bila kita mendengar bagaimana Aisyah cemburu pada Rasul.
Namun cemburunya hanya sekedar melempar tepung, dan Rasulullah yang peka
dengan keadaan segera mengalihkannya dengan kelembutannya.
Cemburu yang santun, dengan tidak cemberut, tidak ngambek, tidak
dengan mendiamkan sang suami berhari-hari dan bahkan menjadi judes
tiba-tiba, galak seketika dan marah-marah tanpa sebab, apalagi sampai
harus membanting pintu, wah, jauh dengan perilaku istri-istri Rasul. Dan
ranipun terpegun, bila diingatkan soal cemburu, sulit untuk tidak
cemburu, atau mencoba sabar dengan mengingat kembali kisah istri-istri
para nabi, namun tidak semudah itu, jeritnya dalam hati. Sulit, ketika
mendapati suaminya sangat ramah pada pelayan toko, atau ketika suaminya
sangat perhatian pada ibu muda tetangga sebelah yang baru mau melahirkan
dengan memberikan saran- saran mengenai kesehatan, yaa suaminya memang
dokter, dan bayangan bahwa suaminya harus menjumpai perawat-perawat muda
yang lincah setiap hari, membuat Rani tersiksa. Rasa kesal dan
prasangka buruk terhadap suaminya membuat dia menjadi uring-uirngan, dan
tentu saja hasilnya negatif, suami yang tadinya pulang setiap petang
bisa menjadi malas pulang, karena menjumpai istri yang sibuk marah-marah
tidak karuan. Istilahnya mengungkit hal-hal yang kecil menjadi masalah
besar, bukankah berumahtangga untuk mendapatkan kenyamanan bukan
kemarahan?
Istri Rasulullah sangat dermawan.
Istri Rasulullah tidak punya pembantu, anaknya pun memiliki tangan
yang tidak lembut karena menggiling gandum sendiri, padahal Fatimah
adalah anak seorang pemimpin negeri, bayangkan bila ada anak pemimpin
negeri seperti itu, luarbiasa, kita saja yang cuma anak pak RT, punya
khadimah, dan tidak pernah menggiling beras sendiri, selalu ada yang
bantu. Maka ketika dihadapkan pada kenyataan, Sofi yang sudah dua bulan
tidak kunjung memiliki pembantu rumah tangga, walau sudah mencari
kemana-mana, bahkan sang suami sudah pula mendatangi beberapa agen
pembantu rumah tangg , hasilnya nihil. Sofi yang sudah terlalu lelah
dirumah mengerjakan pekerjaan rumah yang tidak ada habisnya, akhirya
meluapkan emosinya pada sang suami yang mengerti istrinya lelah. Namun
para istri juga harus ingat, bukankah suaminya yang baru pulang kerja
juga lelah, apalagi kondisi diluar rumah yang begitu mencekam,
persaingan di kantor yang begitu tajam, belum lagi mungkin bos ditempat
kerja sang suami menekan dengan ketidakpuasan terhadap kerja sang suami.
Maka bila kadang istri harus marah-marah karena tidak punya pembantu,
sangatlah disayangkan, satu kuncinya harus sabar, bukankah semua
pekerjaan rumah yang dilakukan istri dengan ikhlas akan diganjar dengan
pahala oleh Allah Swt.
Istri Rasululah kuat beibadah, “aku membuka mataku , dan aku melihat
Rasulullah yang sedang sholat malam dengan khusyu sampai janggutnya
basah berlinang airmata.” Istri Rasullah melihat tauladan, dan segera
pula melakukan ibadah, dengan tekun, hal ini merupakan bukti bahwa istri
Rasulullah taat beibadah. Hati sih ingin, siapa sih yang tidak ingin
bangun malam melaksanakan shalat dan berdoa, sungguh-sungguh, bahkan
seperti yang sudah diketahui dari hadist-hadist bagaimana sholat malam
itu, bila berdoa akan dikabulkan doa kita. “Motivasi ada, namun, lelah,
yaa lelah rasanya, sudah bekerja seharian di kantor, malam harus
terbangun pula untuk sholat malam,” Fitri menggumam ketika dikantornya
ada kajian muslimah setiap jumat yang mebahas tuntas tentang fadilah
sholat malam. Yaa bila aku bangun malam, maka waktu tidurku sempit, mau
tidur lagi rasanya suadah tidak bisa, tidak mudah untuk langsung
terlelap menunggu subuh setelah shalat malam, bisa-bisa kebablasan, dan
akibatnya dikantor jadi mengantuk, dan sejuta alasan terpampang.
Akhirnya ketika dikatakan istri Rasulllah rajin sholat malam, maka Fitri
pun menanah, kalau aku jadi ibu rumah tangga saja seperti istri
Rasulullah,mudah saja bagiku untuk melakukan shalat malam, kalau
mengantuk, maka aku tinggal tidur dan tidak terpaku pada jam kantor dan
kemacetan lalulintas.
Istri sahabat Rasul pandai menyembunyikan kegelisahan hatinya,
pernah dengar kisah Ummu Sulaim, yang anaknya meninggal lalu
disembunyikan dari suaminya yang baru pulang, bahkan sang istri sempat
melayani sang suami dengan baik, tanpa mengganggu suaminya yang masih
sangat lelah. Dan subhanalah, pandainya sang istri menjaga hati sang
suami, membuat kisah ini seringkali dijadikan senjata oleh para suami
yang keala melihat istrinya hanya bercerita tentang masalah masalah dan
masalah saja. Sajikanlah cerita-cerita yang enak untuk didengar, yang
membuat suasana gembira, mengapa para istri seringkali tidak sabar untuk menceritakan masalah dan masalah ketika berjumpa dengan suaminya. Entah
itu mulai dari soal tagihan listrik yang membengkak, raport anak yang
kebakaran, tetangga depan yang menjengkelkan, ibu mertia yang
sakit-sakitan dan perlu ganti dokter, sampai mungkin cerita-cerita dan
keluhan tentang guru ngaji sang istri yang dinilai terlalu mengecam
sehingga menimbulkan jamaah yang kemudian kabur satu pesatu. Apakah
tidak ada cerita yang indah dan ceria yang membuat suami merasa
terhibur, sehingga tak heran bila suami merasa malas untuk mendengarkan
cerita sang istri yang bertubi-tubi, yang dinilainya hanya berisi
masalah, masalah dan masalah.
Seringkali seorang wanita dihadapkan pada sirah sohabiyah, bagaimana
akhlak para istri Rasulullah, Namun cara mendidik para wanita saat ini,
tidak sebagaiamana cara sihabiyah dididik. Dan terlebih lagi lingkungan
wanita zaman sekarang berbeda dengan lingkungan yang Islami pada zaman
Rasulullah. Para suami juga begitu tidak dididik seperti pada zaman
Rasulullah dulu, namun tentu banyak teladan dan sunnah yang sebaiknya
kita ikuti. Dan kita sebagai wanita muslimah sebaiknya mengikuti
bagaiamana cara sahabiyah berakhlak, beribadah dan bersikap. Jadikan
istri-istri Rasul dan Sahabat sebagai tauladan dan panutan yang utama,
namun jangan memaksa, karena buah mangga masak tidak dalam semalam,
namun membutuhkan waktu yang sangat panjang. Perawatan, pupuk dan
utamanya kesabaran sehingga buah mangga tersebut layak untuk dimakan.
Ingatlah bagaimana Rasulullah menjelaskan; “istri (wanita) diibaratkan
seperti tulang rusuk. Jika diluruskan dengan paksa, maka tulang itu akan
patah. Dan sebaliknya, jika dibiarkan akan tetap bengkok.”
* Penulis : Fifi P. Jubilea
Komentar
Posting Komentar